Kamis, 31 Desember 2009

SELAMAT JALAN, SELAMAT DATANG

Hari ini 1 Januari 2010.

Setiap orang pasti antusias pada tanggal ini (tanpa memperhatikan tahunnya). Begitu juga dengan aku tentunya. Selalu ada semangat dan tekad tuk jadi lebih baik di tahun mendatang, di mulai dari tanggal ini. Dari tahun ke tahun selalu sama, semangat yang membara, dan tekad yang besar untuk memperbaiki hari. Setiap malam pergantian tahun, selalu ada doa yang menyertai agar diri ini bisa lebih berguna dan bermanfaat di tahun depan. Punya rezeki melimpah, cita-cita tercapai, lebih sejahtera, lebih sehat, lebih bahagia, karier sukses, dll.

Aku termenung seorang diri di kamar tidurku yang kecil (kaya puisi aze). Merenungi apa yang dilewati dan terlewati di tahun yang baru saja berjalan ini. Dan mengingat hal-hal yang belum selesai di tahun ini. Aku sadar (di renungan tahun kemarin juga sadar) sebenarnya setiap tahun selalu saja bersambung. Ketercapaianku di tahun 2009 tak akan terjadi bila tak ada pengorbanan di tahun 2008. Dan hal-hal apa saja yang aku jalani di tahun 2009 sangat berdampak pada masa depanku nanti di tahun 2010 ini. Continuitas akan terus berlangsung selama kita hidup. Hanya saja, benar-benar mengoptimalkan waktu dan perencanaan yang matang akan melesatkan kita menuju tujuan.

Di tahun 2009, bukan saja kegigihan dan kemenangan yang aku raih. Tapi juga kegagalan dan kehilangan. Aku percaya ini semua terjadi karena Allah menghendaki. Ada rahasia besar mengapa aku tidak berhasil mencapai salah satu target, dan ada ketetapan Illahi ketika aku kehilangan. Dia ingin menguji ketabahan dan ketawakalanku. Hingga kini aku memang masih berdiri tegak di muka bumi, walau sebenarnya aku takut…takut tidak mampu melewati ujian yang telah ditetapkan-Nya padaku.

Apakah aku sanggup melewati hari dengan hancurnya rumah dan lingkungan akibat gempa seperti di Padang, Pangalengan, Bengkulu, dan tempat lainnya yang tertimpa gempa dahsyat? Ataukah aku sanggup kehilangan orang-orang yang aku cintai, apalagi dia berperan sebagai tulang punggung keluarga seperti orang-orang itu? Atau akankah aku sanggup kehilangan salah satu anggota tubuhku atau panca inderaku demi nyawa yang aku punya seperti mereka yang kini hidup secara cacat dengan ikhlas? Atau yang tertimpa justru orang yang sangat aku cintai, akankah aku sanggup menghadapinya? Aku sungguh takut…takut kehilangan…takut tak mampu menanggung segala derita… karena itulah aku salut pada orang-orang yang bangkit pasca bencana. Bagaimanapun keadaan mereka, mereka sanggup bertahan.

Aku teringat pada seorang nenek di Padang yang turut menyumbang sejumlah uang bagi bencana gempa. Uang itu tak seberapa hanya Rp20.000,00 saja. Tapi aku yakin uang itu sangat berharga bagi sang nenek, karena diapun sebagai korban bencana. Dia juga membutuhkan uang itu untuk kebutuhannya sehari-hari. Apalagi dia telah tua dan renta. Tapi dengan suara yang tabah, nenek itu mengatakan ingin menyumbang demi kebangkitan tanahnya dan saudara-saudaranya, di kala orang dari luar Padang menyumbang diapun sebagai orang Padang ingin turut membantu. Sungguh mulia hatinya, uangnya itu memang tak seberapa, tapi nilai yang terkandung di dalamnya melebihi uang satu milyar yang tersimpan dalam deposito atau sebagai investasi bisnis. Nenek itu telah memberiku inspirasi dan keharuan teramat dalam, bahwa hidupku setiap tahun pasti sangat berharga. Dan aku tak boleh menyia-nyiakan ilmu, tenaga, dan waktu yang terus berjalan.

Di tahun 2009 ini, aku kehilangan dua orang manusia yang dekat denganku dan sangat aku sayangi. Mama mertua dan kakek. Kakek kandung yang turut mengasuhku ketika aku kecil, ketika orang tua sibuk bekerja, kakek dengan ikhlas menerimaku dan mengasuhku dengan kasih sayangnya yang tulus. Hingga aku dewasa, aku tahu dia masih menyayangiku seperti dulu. Hatinya kini tersimpan dalam dadaku, setiap senyum dan kata-katanya selalu terngiang dalam pikiranku. Aku tahu kakekku orang yang mulia, dia tidak menyisakan harta pada kami, tapi menyisakan hati mulia yang kan selalu kekal sepanjang masa.

Kedua manusia mulia itu meninggal dalam keadaan khusnul khotimah (insya Allah). Mereka tak sempat menyongsong hari baru di tahun 2010. Tapi aku yakin, mereka telah tenang di alam sana, di sisi Allah SWT.

Aku, masih hidup, dan masih muda. Aku masih diberi kepercayaan menyongsong hari di tahun 2010. Allah mencintaiku. Dalam kehilangan ada pemberian. Ketetapannya pada takdir tak akan pernah melesat. Kini aku sedang hamil tua. Sebentar lagi di tahun 2010 ini aku akan melahirkan bayiku yang kedua (insyaAllah). Semoga semuanya berjalan lancar dan mudah.
Selayaknya aku memang harus bahagia, menyongsong tahun yang penuh tanda tanya. Aku harus terus melangkah memperbaiki yang salah di belakang dan terus menapakinya hingga lebih baik. Aku pun ingin di tahun ini, hari-hariku menjadi lebih berwarna, lebih indah, lebih nyaman, lebih sejahtera. Diriku semoga dapat menjadi manusia yang lebih berguna dan bermanfaat. Begitupun dengan orang-orang yang berada di sekitarku, saudara yang dekat dan jauh dan orang-orang yang aku kenal atau tak aku kenal.

Selamat jalan 2009, selamat jalan masa lalu. Akan kami songsong masa depan yang lebih baik di tahun ini dan tahun-tahun mendatang, insyaAllah.

Amin.

Rabu, 30 Desember 2009

Kalau Sudah Rejeki, Tidak Akan Kemana...

Waktu itu sore-sore.
Ketika sedang belanja di mall perut rasanya lapar sekali, ternyata perut Ihsan (anak lelakiku) pun begitu. Biasanya dia paling cuek yang namanya makan, tapi sekarang dia memintanya.
Aku seneng banget, dong. Akhirnya ihsan mau makan juga. Sebagai anak empat tahun yang harus mendapatkan gizi melimpah ihsan memang terlihat lebih ramping. Karena ya itu tadi, nafsu makannya harus dikatrol.
singkat cerita makanan udah tersedia di depan kita. menuku cuma nasi goreng seafood aja plus teh botol dingin. menu Ihsan (lupa lagi nama menunya) terdiri dari telur dadar yang ditaburi mayones, sosis goreng, kentang goreng plus teh botol dingin. Dia makan dengan lahap, namun aku lebih lahap lagi. Setelah beberapa menit, nasi goreng ku telah kosong berpindah tempat. sambil menikmati manisnya teh botol, kuperhatikan cara makan Ihsan. Dia masih makan hanya frekuensi mengunyahnya lama sekali. Telur dadarnya masih ada setengah, sosisnya tinggal satu, dan kentang gorengnya mungkin telah dimakan setengahnya. Teh botolnya pun telah diminum setengahnya. Aku nasihatkan dia untuk menghabiskan semua, jawabannya sungguh di luar dugaan. Ma, Ihsan pengen pipis, katanya.
Aku bingung, kami hanya berdua. Bila aku mengantarnya ke toilet, pramusaji mungkin akan menyangka kami telah selesai makan. Dan membereskan mejanya. Namun bila tidak diantar, tak mungkin anak empat tahun dapat ke toilet sendiri di mall besar ini apalagi bila bersuci. Pasti bingung dia.
Pramusaji yang biasanya hilir mudik menyerahkan makanan kepada pelanggan kali ini tidak ada. Akhirnya aku putuskan menemani Ihsan ke toilet. Sebelumnya aku bertanya, apakah dia sudah kenyang? Jawabannya belum, dia masih ingin menikmati makanannya. Dengan pasrah aku tinggalkan meja itu.
Benarlah dugaanku.
Meja kami telah bersih ketika kami tiba dari toilet. Kasihan Ihsan, dia heran melihat mejanya kosong. Dia mencari-cari makanannya sambil terus bertanya, kemana makanan Ihsan, teh botolnya mannnnnnaaa?
Dalam kebingungan itu, untunglah melintas seorang pramusaji. Langsung aku ceritakan apa yang terjadi. Pramusaji itu terlihat kaget dan dia melihat Ihsan. Anak lelaki itu sedang melihat ke kiri dan ke kanan, lalu menatapku. Ma, Ihsan masih lapar, katanya polos.
Pramusaji yang terlihat kaget itu mengakui bahwa dialah yang memberesi meja, dan dia meminta maaf pada kami karena tidak tahu bahwa kami belum selesai. Mungkin karena kasihan melihat balita yang masih mencari makanannya dia akhirnya menjamin akan mengganti makanan itu. Aku setuju.
Selang beberapa lama, akhirnya menu Ihsan datang lagi. Telur dadar utuh, sosis utuh dan kentang goreng panas yang masih utuh. Lengkap dengan mayones dan sambal tomatnya, plus teh botol dingin penuh.
Rejeki anak, begitulah fikirku.
Pramusaji itu mempersilahkan kami menikmati menunya sambil meminta maaf. Ya...tentu saja aku maafkan dia, karena kami tidak dirugikan bila ada penggantian ini. Ihsan pun makan lagi dengan lahap. Aku tunggu dia hingga kenyang.

DIA PEMBAWA SEMANGAT

DIA PEMBAWA SEMANGAT

Hari ini usia kandunganku telah memasuki 9 bulan. Sebagai seorang wanita yang baru pertama kali mengandung tentulah saat ini perasaanku sangat bercampur aduk. Antara bahagia dan takut semuanya menjadi satu. Aku akan menjadi ibu, begitulah pikirku. Sebentar lagi, jabang bayi yang bersemayam dalam rahimku akan dapat aku peluk. Aku bisa membelainya, aku bisa memandikannya, dan memberinya pakaian-pakaian kecil yang telah aku persiapkan. Kaos kaki, sepatu, topi, baju, celana dan lain-lain perlengkapan telah membuat aku semakin rindu akan kehadirannya. Bahkan akupun telah siap menyusuinya, selama 6 bulan penuh. Aku ingin memberinya yang terbaik.
Tapi aku pun takut pada proses persalinan nanti. Banyak cerita menakutkan mengenai proses itu, akan rasa sakitnya, akan darah yang banyak keluar, akan putusnya beberapa pembuluh darah, bahkan hingga pembuluh mata, ada juga yang terkena stroke, bahkan kematian. Aku sungguh takut menghadapi saat-saat itu. Bila dapat dikatakan aku kini mengalami depresi kecil. Tapi aku tak mau anak dalam rahimku mengalami depresi pula. Hingga aku berpura-pura tidak terjadi apa-apa dalam hatiku. Aku bernyanyi dan berjalan-jalan, memilih makanan yang enak dan buah-buahan yang segar, berbelanja pakaian hamil atau pakaian kecil, bahkan mainannya pun telah aku persiapkan. Begitu banyak yang aku beli. Ya…itu semua untuk menghilangkan rasa stressku. Aku tak ingin terus mengingat proses menakutkan yang akan aku jalani nanti.
Terbersit dalam fikiran, aku akan mengambil tindakan operasi saja. Biarlah dokter yang bekerja, dan memberikan kepercayaan penuh pada mereka. Toh banyak pasien yang menjalani itu dan berhasil namun kabarnya pasca operasi akan jauh lebih menyakitkan daripada operasinya itu sendiri dan akan membutuhkan waktu yang sangat lama.
Aku bingung, normal atau operasi?
Tendangan bayiku tidak sesering dulu ketika usianya 7 bulan, namun kini tendangannya semakin kuat. Aku bisa memastikan bahwa bayiku adalah bayi yang kuat dan perkasa. Dia terus mendorongku untuk mengelusnya lewat dinding perut. Aku bisa merasakan kakinya, tangannya bahkan gerakan tarikannya. Dia memang sangat kuat. Haruskan aku sebagai ibunya memiliki rasa yang lemah ini? Mampukah aku memberi yang terbaik dikala aku sendiri dalam keadaan lemah hati?
Tiba-tiba hatiku bangkit, aku merasa harga diriku sebagai ibu teruji. Dokter telah memastikan kondisi bayiku dalam keadaan sehat, begitupun dengan aku. Posisinya telah siap untuk dilahirkan, tak ada penghalang apapun. Akupun tak memiliki penyakit berat yang akan menimbulkan komplikasi. Segalanya dalam kondisi bagus. Haruskah aku menyerah sebelum perang? Jikalau aku mesti kalah nantinya, aku kalah di medan perang dan hal itu merupakan kehormatan. Tapi aku harus memiliki tekad menang, aku memiliki hak dan kewajiban. Aku berhak memeluk anakku dan aku berkewajiban merawat dengan sebaik-baiknya. Aku harus menang.
Aku akan mengambil jalan normal dalam proses persalinan nanti. Dan aku mesti mempersiapkannya.
Banyak yang harus aku persiapkan. Pertama adalah mentalku, aku harus dalam keadaan sehat wal afiat dan santai, lepas dari depresi kecil bahkan stress. Aku pun harus kembali memikirkan asupan giziku. Selama stress mendera, yang aku makan hanyalah cemilan dan gorengan. Sangat jauh dari gizi yang mesti dimiliki ibu hamil. Kini aku harus menuliskan menu-menu sehat yang harus aku konsumsi, dimulai dari sayur, buah, protein dan karbohidratnya. Apa ya? Akan aku konsultasikan pada ibu. Aku pun harus mempersiapkan materi yang akan aku ambil untuk mengajak bicara janinku. Aku ingin dia mengerti perasaanku, dan aku harap kelak dia pun akan menjadikan aku teman bicara tuk menyelesaikan permasalahannya. Aku ingin ikatan emosi kami menjadi lebih dekat, sehingga anakku tahu ada manusia di luar dirinya yang menyayangi dan ada untuknya. Aku tak berharap dia berada dalam dunianya sendiri tanpa peduli pada orang lain. Aku pun harus mengambil kitab suci, karena di kitab itu tertuang pedoman dalam membesarkan anak, bagaimana seharusnya orang tua dan hubungan antara kami. Aku sungguh ingin menjadi orang tua yang berharga di hadapan anak.
O ya, untuk menghindari stroke aku pun harus mengupayakan tekanan darahku normal dan tidak tinggi. O…apa yang akan terjadi jika aku mengalami darah tinggi di saat proses persalinan nanti? Aku harus sehat sesehat-sehatnya. Karena itu segera saja kususun jadwal latihan senam hamil dan berjalan-jalan agar badanku bugar dan menjaga makanan agar tidak terlewat asin. Katanya makanan yang banyak mengandung asin (garam) mudah menimbulkan hipertensi. Vuih… banyak juga program yang mesti aku terapkan.
Suami kini masih bekerja di luar kota, dia belum dapat pulang. Katanya dia bisa pulang beberapa hari sebelum proses kelahiran si jabang bayi. Aku adalah wanita yang manja dan ingin diperhatikan. Akupun mudah merajuk pada suami yang kelewat sabar menghadapiku. Tapi kini rasioku lebih berjalan disbanding hati dan emosiku. Aku mesti berfikir jernih dan menghadapi segala peristiwa dengan pikiran yang lebih positif. Aku rela dan pasrah bahwa suami memang harus bekerja di luar kota. Aku akan sabar menunggunya. Karena kini itulah yang mesti aku lakukan. Dia bekerja demi kami, demi investasi keluarganya. Aku bangga melihat keuletannya mencari nafkah, sehingga kami tidak kekurangan.
Ternyata anakku, walaupun masih dalam kandungan, telah membuatku lebih dewasa dan berfikir matang.
Terima kasih, sayang. Mama memang membutuhkan dukungan.